perbedaan obat tbc puskesmas dan rumah sakit
Perbedaan Obat TBC Puskesmas dan Rumah Sakit: Akses, Jenis, Dosis, dan Pengawasan
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Pengobatan TBC memerlukan kombinasi beberapa jenis obat yang diminum secara teratur selama minimal enam bulan. Akses terhadap pengobatan TBC di Indonesia tersedia melalui dua fasilitas kesehatan utama, yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit. Meskipun tujuan pengobatannya sama, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara obat TBC yang diberikan di Puskesmas dan Rumah Sakit, meliputi aspek akses, jenis obat, dosis, pengawasan, dan penanganan efek samping. Memahami perbedaan ini penting untuk memastikan pasien TBC mendapatkan pengobatan yang tepat dan efektif.
Akses dan Ketersediaan Obat:
Puskesmas adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang menjadi garda terdepan dalam penanganan TBC di Indonesia. Obat TBC di Puskesmas umumnya bebas dan disediakan oleh pemerintah melalui Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (PNPT). Ketersediaan obat di Puskesmas biasanya terjamin karena alokasi dan distribusi obat telah diatur secara sistematis oleh Dinas Kesehatan. Pasien TBC yang terdiagnosis di Puskesmas akan langsung mendapatkan pengobatan tanpa biaya, asalkan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh program.
Rumah Sakit, di sisi lain, merupakan fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Akses terhadap obat TBC di Rumah Sakit bisa melalui beberapa jalur, termasuk:
- Program Nasional: Rumah Sakit yang bekerja sama dengan PNPT juga menyediakan obat TBC gratis bagi pasien yang memenuhi kriteria program.
- BPJS Kesehatan: Pasien dengan BPJS Kesehatan dapat memperoleh obat TBC dengan biaya yang ditanggung oleh BPJS, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Pembelian Mandiri: Pasien juga dapat membeli obat TBC secara mandiri di apotek Rumah Sakit, namun ini umumnya lebih mahal dibandingkan melalui program atau BPJS.
Ketersediaan obat di Rumah Sakit bisa lebih bervariasi dibandingkan Puskesmas, terutama untuk jenis obat yang lebih spesifik atau obat lini kedua (untuk kasus TBC resisten obat). Terkadang, pasien perlu menunggu atau mencari apotek yang menyediakan obat tersebut.
Jenis Obat dan Kombinasi:
Pengobatan TBC menggunakan kombinasi beberapa jenis obat untuk membunuh bakteri TBC dan mencegah resistensi obat. Obat-obatan lini pertama yang umum digunakan meliputi:
- Isoniazid (INH): Antibiotik utama yang sangat efektif membunuh bakteri TBC.
- Rifampisin (RIF): Antibiotik kuat yang memiliki spektrum luas dan efektif terhadap berbagai jenis bakteri, termasuk TBC.
- Pirazinamid (PZA): Antibiotik yang efektif membunuh bakteri TBC yang berada dalam kondisi tidak aktif (dormant).
- Etambutol (EMB): Antibiotik yang membantu mencegah resistensi obat terhadap INH dan RIF.
- Streptomisin (SM): Antibiotik suntik yang digunakan pada fase awal pengobatan, terutama pada kasus TBC berat.
Dari Puskesmaspengobatan TBC biasanya menggunakan Kombinasi Dosis Tetap (FDC) atau kombinasi dosis tetap. FDC adalah pil yang mengandung beberapa jenis obat TBC dalam satu tablet, misalnya INH, RIF, PZA, dan EMB. Penggunaan FDC memudahkan pasien dalam mengonsumsi obat dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Puskesmas umumnya menyediakan FDC untuk fase intensif (dua bulan pertama) dan fase lanjutan (empat bulan berikutnya).
Dari Rumah Sakitjenis obat yang digunakan bisa lebih bervariasi dan disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain FDC, dokter di Rumah Sakit mungkin meresepkan obat-obatan secara terpisah (single drug) jika diperlukan penyesuaian dosis atau jika pasien memiliki kondisi medis tertentu yang memerlukan perhatian khusus. Rumah Sakit juga memiliki akses ke obat-obatan lini kedua yang digunakan untuk mengobati TBC resisten obat (TB-RO), seperti:
- Kanamisin (KM): Antibiotik suntik yang digunakan untuk TB-RO.
- Amikasin (AMK): Antibiotik suntik yang digunakan untuk TB-RO.
- Moksifloksasin (MXF): Antibiotik oral yang digunakan untuk TB-RO.
- Levofloksasin (LVX): Antibiotik oral yang digunakan untuk TB-RO.
- Sikloserin (CS): Antibiotik oral yang digunakan untuk TB-RO.
- Etionamida (ETO): Antibiotik oral yang digunakan untuk TB-RO.
- Protionamida (PTO): Antibiotik oral yang digunakan untuk TB-RO.
Dosis Obat:
Dosis obat TBC ditentukan berdasarkan berat badan pasien. Di Puskesmasdosis obat FDC biasanya sudah disesuaikan dengan rentang berat badan tertentu. Petugas kesehatan akan memberikan jumlah tablet yang sesuai dengan berat badan pasien.
Dari Rumah Sakitdosis obat bisa lebih fleksibel dan disesuaikan secara individual oleh dokter. Dokter akan mempertimbangkan faktor-faktor seperti berat badan, usia, fungsi ginjal dan hati, serta kondisi medis lainnya dalam menentukan dosis obat yang tepat.
Pengawasan dan Pemantauan:
Pengawasan dan monitoring pengobatan TBC sangat penting untuk memastikan keberhasilan pengobatan dan mencegah resistensi obat. Di Puskesmaspengawasan dilakukan oleh Petugas Kesehatan Lapangan (PKL) atau kader kesehatan yang terlatih. PKL akan melakukan kunjungan rumah secara berkala untuk memantau kepatuhan pasien dalam minum obat, memberikan edukasi, dan mendeteksi dini efek samping obat. Puskesmas juga menyediakan layanan Kursus Singkat Perawatan yang Diamati Secara Langsung (DOTS)yaitu pengawasan langsung minum obat oleh petugas kesehatan.
Dari Rumah Sakitpengawasan dilakukan oleh dokter spesialis paru atau dokter lainnya yang memiliki kompetensi dalam penanganan TBC. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (seperti tes dahak dan tes darah), dan pemeriksaan radiologi (seperti rontgen dada) secara berkala untuk memantau perkembangan pengobatan dan mendeteksi efek samping obat. Rumah Sakit juga memiliki fasilitas untuk melakukan pemeriksaan resistensi obat, yang penting untuk mendiagnosis dan mengobati TB-RO.
Penanganan Efek Samping:
Obat TBC dapat menyebabkan efek samping, seperti mual, muntah, sakit perut, ruam kulit, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran. Di Puskesmaspetugas kesehatan akan memberikan edukasi tentang efek samping yang mungkin terjadi dan cara mengatasinya. Jika pasien mengalami efek samping yang serius, petugas kesehatan akan merujuk pasien ke Rumah Sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Dari Rumah Sakitdokter akan melakukan evaluasi terhadap efek samping yang dialami pasien dan memberikan penanganan yang sesuai. Penanganan bisa berupa pemberian obat-obatan untuk mengurangi efek samping, penyesuaian dosis obat TBC, atau penggantian obat TBC jika diperlukan. Rumah Sakit juga memiliki fasilitas untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap untuk mengetahui penyebab efek samping dan memberikan penanganan yang optimal.
Kesimpulan:
Meskipun sama-sama bertujuan untuk menyembuhkan TBC, terdapat perbedaan signifikan antara obat TBC yang diberikan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Puskesmas menawarkan akses gratis dan terjamin dengan kombinasi dosis tetap (FDC) serta pengawasan ketat oleh PKL. Rumah Sakit menyediakan akses melalui berbagai jalur (program, BPJS, mandiri), jenis obat yang lebih bervariasi dan disesuaikan, dosis yang lebih fleksibel, serta pengawasan oleh dokter spesialis dan fasilitas pemeriksaan yang lebih lengkap. Pemilihan tempat pengobatan bergantung pada kondisi pasien, aksesibilitas, dan kebutuhan medis. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau petugas kesehatan untuk mendapatkan informasi dan pengobatan TBC yang tepat.

